RADIOPENSIUNAN.COM
KULINER ZAMAN BAHEULA YANG SEKARANG MASIH BERJAYA
Program : Pensiunan Punya Cerita
Edisi : Selasa, 26 Nov 2024
Host : Puspa & Agus Widyanto
Semua pasti suka diajak kuliner kan ? Namun tahukah kalau ada kuliner kita usianya sudah ribuan tahun? Apa saja makanan dan minuman yang ada sejak zaman baheula? Mari kita intip juga makanan dan minuman yang dihidangkan kepada raja dan bangsawan di zaman dulu kala.
Tujuannya antara lain agar kita bisa lebih menghargai kekayaan budaya nusantara, biar nggak mudah diklaim sembarangan oleh tetangga sebelah.
Kita mulai dari jenis-jenis makanan era lama yang sekarang masih ada. Ada beberapa makanan yang masih eksis sampai sekarang dan digemari banyak orang. Kita ambil beberapa sebagai topik bahasan ya. Untuk makanan utama kita pilih Rawon, Urap, Pecel, Gudeg, Liwet, dan Lalapan. Untuk makanan pendamping kita pilih Krupuk, Dodol, dan Tape Ketan.
Kalau ke Jawa Timur, dari Probolinggo, Malang, Surabaya, sampai Madiun pasti ada warung dan restoran yang menyediakan menu Rawon. Sekarang ini nama rawonnya pun macam-macam, ada Rawon Nguling yang berpusat di Probolinggo, ada Rawon Setan yang marak di Surabaya, bahkan di Solo ada rawon yang terkenal, Rawon Penjara karena lokasinya berada di sebelah Timur Rutan Solo.
Rawon adalah masakan yang terdiri dari olahan irisan daging ini bercirikan genangan kuah cokelat gelap menjurus hitam yang dihasilkan dari penggunaan biji kluwak sebagai salah satu bumbunya. Daging untuk rawon umumnya adalah daging sapi yang dipotong kecil-kecil, utamanya adalah bagian sandung lamur. Selain kluwak, bumbu lain yang dipakai adalah campuran bawang merah, bawang putih, lengkuas (laos), ketumbar, kemiri, serai, kunir, cabai, kluwek, garam, serta minyak nabati.
Di luar negeri, Rawon disebut sebagai Black Soup, yang konon masuk dalam daftar sup terenak di dunia. Rawon sudah dikenal sejak era Kerajaan Kediri di Kerajaan Kediri, kerajaan Hindu-Buddha yang berdiri pada tahun 1045 hingga 1222 M. Keberadaan rawon sudah disebutkan dalam Kitab atau Kakawin Bomakawya karya Mpu Dharmaja adalah Kakawin Bomakawya, salah satu pujangga Kerajaan Kediri.
Bagi yang senang dengan makanan sayuran pasti suka dengan menu Urap (bahasa Jawa: Urab). Urap adalah hidangan selada berupa sayuran yang dimasak (direbus) serta sayuran mentah seperrti ketimun, lenca dan kemangi, yang dicampur kelapa parut yang dibumbui sebagai pemberi cita rasa. Urap disajikan tanpa daging, meski sekarang kondimen ikan asin dan daging banyak ditambahkan ke menu ini. Juga telur dadar maupun telur rebus.
Menu Urap cocok untuk vegetarian. Bisa disajikan dengan nasi putih maupun nasi kuning di acara-acara tertentu. Sajian Tumpeng Jawa selalu menyertakan urap sebagai pelengkap. Kuliner Urap sudah ada di negeri kita sejak abad 9, Era Kerajaan Medang (Mataram Kuno) Jawa Timur, karena tercatat dalam Prasasti Linggasuntan yang berangka 929 Masehi. Prasasti Linggasuntan ditemukan di Dusun Lowokjati, Desa Baturetno, Kecamatan Singosari, Malang, Jawa Timur.
Pecel, semacam salad yang diberi bumbu kacang ditambah dengan gula, garam, kencur. Makanan yang pada dasarnya merupakan racikan sejumlah sayuran yang diguyur saus bumbu kacang ini tetap popular sampai sekarang, padahal keberadaannya sudah tercatat sejak zaman kerajaan Mataram Kuno dibawah pemerintahan raja Rakai Watukura Dyah Balitung (898-930 M) yang tercatat dalam Kakawin Ramayana. Pecel juga dicatat dalam Prasasti Taji Ponorogo (901 M), Prasasti Siman dari Kediri (865 Saka/943 M), Babad Tanah Jawi (1647 M) dan Serat Centhini (1742 Saka/1814 M).
Sayuran yang sering menjadi andalan utama untuk Pecel di antaranya bayam, sawi, kangkung, kacang panjang, tauge, kubis, irisan wortel, daun ubi jalar, bahkan daun papaya juga cocok menjadi bagian dari pecel. Saat disajikan, Pecel sering dihidangkan dengan lauk seperti peyek, karak, kerupuk terung, empal, jeroan goreng, tahu, tempe dan telur asin. Menu Pecel yang cukup popular di antaranya Pecel Madiun. Variasi dari Pecel adalah Lotek, sayuran yang diberi racikan bumbu yang diolah langsung memakai cowek dan ulegan.
Kemudian Lalapan, yakni sayur yang dimakan mentah atau ada yang direbus sekedarnya, dengan polesan sambal plus ikan asin, juga tergolong kuliner kuno. Jangan kaget kalau Lalapan adalah sajian yang turut disebutkan dalam Prasasti Jeru-jeru yang berangka tahun 930 Masehi dari era Kerajaan Medang.
Sayur-sayuran yang biasa digunakan untuk Lalapan atau Lalap, Lalap, antara lain selada, daun pohpohan, reundeu, kol, ranti, daun jambu mete, jengkol, petai, daun mangga muda, kenikir, peria (pare), terong hijau, beluntas, kacang panjang, timun, tomat, daun pepaya, daun singkong, sintrong, dan kemangi. Di beberapa daerah ada yang menambahkan terong dan leunca ke dalam daftar sayuran Lalap.
Urap : sayuran rebus dimakan dengan kelapa parut.
Pecel : sayuran rebus dimakan dengan saus kacang
Gado – gado sayuran rebus dimakan dengan saus kacang yang dimasak terlebih dulu
Karedok : sayuran mentah yang tumbuh di sekitar rumah masyarakat Jawa Barat, seperti kacang panjang, taoge, ketimun, kemangi, daun beluntas, dan mangkokan dimakan dengan Bumbu kacang karedok yang lebih kental dan kering
Lalap (lalapan) sayuran mentah dimakan dengan sambal//
Kalau ke Jogja jangan lupa makan Gudeg, meski gudeg sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia. Apakah Gudeg memang asli Jogja? Kenapa Ada Gudeg Solo? Ada publikasi yang memang mengkaitkan asal-usul gudeg dengan berdirinya Kesultanan Mataram. Dalam buku “Gudeg, Sejarah dan Riwayatnya” karya Prof Murdijati Gardjito dari Pusat Kajian Makanan Tradisional (PMKT), Pusat Studi Pangan dan Gizi Uniersitas Gadjah Mada (UGM), disebutkan gudeg sudah ada sejak masa awal Yogyakarta dibangun. Para pengikut Pnembahan Senopati yang terlibat membuka Hutan mentaok (sekarang Kotagede Yogyakarta) menemukan banyak pohon Nangka dan pohon kelapa. Mereka berusaha memasak Nangka dan kelapa menjadi sajian makan dengan cara mengaduk (Bahasa jawanya hangudek), sehingga hasil masakannya kemudian disebut Gudeg dari asal kata Hangudeg.
Kisah Gudeg yang lain ada di Serat Centhini terbitan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jogja pada 2014. Serat Centhini ditulis pada 1814-1823 atas perintah Adipati Anom Amangkunegara III yang kemudian menjadi raja Keraton Kasunanan Surakarta dengan gelar Sunan Pakubuwono V. Di sini diceritakan bahwa gudeg nangka bumbunya terdiri dari daun salam, daun jeruk, lengkuas, gula jawa, santan, kemiri, ketumbar, terasi, jintan, dan garam. Dalam Serat Centhini disebutkan, gudeg nangka itu disajikan di wilayah Mataram (Jogja), Wanagiri (Wonogiri), Tembayat (Bayat, Klaten).
Soal Gudeg Jogja dan Gudeg Solo, seperti blangkon Jogja dan Solo. Sama-sama pewaris Mataram Islam, yang membedakan hanya versi dan penekanannya dalam perkembangan selanjutnya.
Adapun Liwet atau nasi Liwet yang terkenal di Solo adalah nasi gurih yang dimasak dengan kelapa. Areh atau kumutnya lebih kental dari gudeg. Ciri khas lainnya adalah irisan sayur labu siam yang dimasak sedikit pedas, telur pindang rebus, daging ayam suwir, serta kumut/areh (terbuat dari kuah santan yang dikentalkan). Wadah nasi liwet ini cukup unik dengan menggunakan pincuk (daun pisang).
Daerah yang dianggap sentra nasi liwet adalah Desa Menuran, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharj; yang letaknya sekitar 7 Km dari pusat Kota Solo. Menu ini, menurut ahli gastronomi Universitas Gadjah Mada, Murdijati Gardjito, lahir dari kalangan masyarakat biasa. Sejarah, asal-usul riwayat dan cara memasak nasi liwet tercatat dalam Serat Centhini (1814 -1823). Di kitab yang disusun atas prakarsa Adipati Anom Amangkunegara III disebutkan bahwa nasi liwet dihadirkan ketika Pulau Jawa diguncang gempa bumi. Konon pembuatannya dikaitkan dengan tradisi masyarakat Jawa, termasuk untuk menolak bala ketika terjadi bencana: Dihadirkan dengan sebaris doa yang dilantunkan untuk keselamatan.
Kerupuk atau Kerupuk yang ragamnya beraneka macam dan berkembang di hampir semua daerah di Nusantara, juga memiliki sejarah yang cukup panjang. Makanan yang dibuat dari adonan tepung -ada yang kemudian dicampur dengan lumatan udang atau ikan yang prosesnya dikukus sebelum diiris tipis-tipis untuk dikeringkan, telah disebutkan dalam Kitab Sumanasantaka yang merupakan hasil penulisan dari zaman Kediri pada abad XII. Kitab Sumanasantaka mengisahkan bidadari Harini yang dikutuk Begawan Trnawindu sehingga menjalani hidup sebagai manusia di Bumi, dan kemudian diperistri oleh Pangeran Aja. Pasangan Dewi Harini dan pangeran Aja memiliki anak yang diberi nama Dasarata, ayah dari Rama, tokoh sentral di Epos Ramayana.
Istilah kerupuk selain terdapat pada Kakawin Ramayana (pupuh 26.25 (31)), juga ada di Kakawin Bhomantaka atau Bhomakawya (pupuh 81.36), Kakawin Sumanasantaka (pupuh 113.10) yang ditulis oleh Empu Monaguna pada era kerajaan Kediri (abad ke-12 Masehi). Dalam Prasasti Taji Ponorogo peninggalan kerajaan Mataram Kuno, disebutkan krupuk rambak yang mengacu pada kerupuk yang terbuat dari kulit sapi atau kerbau, yang masih ada hingga saat ini sebagai krupuk kulit, dan biasanya digunakan dalam Masakan Jawa yang disebut krechek.
Dalam perkembangannya, kerupuk menyebar ke seluruh nusantara dan rasanya bervariasi sesuai dengan bahannya. Dari Jawa, kerupuk menyebar ke berbagai wilayah pesisir Kalimantan, Sumatera, hingga Semenanjung Malaya. Variasi kerupuk sudah sangat banyak, dan berkembang sesuai daerah masing-masing. Bahan pembuatannya pun berkembang bisa dari berbagai tepung yang ada.
Makanan kudapan manis yang disebut Dodol juga masuk dalam daftar menu kuno. Jenis kue manis yang kenyal, lengket, dan berwarna cokelat gelap ini begitu identik sebagai jajanan khas Kota Garut di Jawa Barat. Di Jawa Tengah yang terkenal adalah Jenang Kudus, menu sama namun berbeda nama saja. Dodol Garut dan jenang Kudus memiliki bentuk, bahan baku, maupun penyajiannya yang sama. Dalam acara-acara tertentu, masyarakat juga terbiasa membuat Jenang atau Dodol sendiri.
Saduran Kitab Ramayana versi Jawa menyebut Dodol sebagai hidangan yang kerap disajikan untuk para Raja dan bangsawan di era Kerajaan Medang ketika masih berada di Jawa Tengah, sebelum dipindahkan ke Jawa Timur oleh Maharaja Sindok. Penyaduran Ramayana guna menciptakan versi Jawanya diperkirakan terjadi antara 840 Masehi sampai dengan 930 Masehi.
Kalau sekarang kita mengenal tape ketan, baik yang berwarna hijau maupun cokelat atau hitam, ini juga menu yang sudah mengalami perjalanan sejarah yang Panjang. Ramayana versi saduran Jawa yang diperkirakan berasal dari pertengahan abad IX atau awal abad X Masehi sudah menyebutkan tentang keberadaan tape ketan. Kini, makanan bercitarasa manis-asam dan kerap dijadikan campuran minuman ini terkenal sebagai makanan khas dari kota Muntilan dan Magelang.
Tape yang konon berasal dari serapan bahasa Proto-Melayu Polinesia Barat “Tapay” atau “Tapai” memiliki arti “beras yang difermentasi” atau “tuak dari beras. Namun sekarang varian tape tidak hanya dari beras, tapia da yang dari singkong dan pisang. Tape singkong popular di daerah Bandung (banyak dijajakan di Jalan Raya Padalarang di wilayah Cipatat), dan jika di Jawa Timur, dari daerah Bondowoso dan Jember, jika di Jawa Tengah, dari daerah Blora. Sedangkan Tape Ketan yang disebut juga sebagai Tape Pulut, terbuat dari beras ketan (beras pulut), baik dari ketan putih maupun ketan hitam.
Sedangkan Tape Pisang, yakni tape yang terbuat dari bahan buah pisang. Tidak semua jenis pisang dapat digunakan sebagai bahan dasar tape. Syarat pisang yang digunakan harus mempunyai kadar pati yang sangat tinggi. Saat ini pisang kepok dipilih sebagai bahan dasar tape, dikarenakan kandungan pati yang terkandung lebih besar dibandingkan dengan jenis pisang plantain lainnya. Tape Pisang berkembang di Lumajang Jawa Timur. (*)