April 2025

Warta Pensiunan

YOGARTA Komunitas Yoga Yogyakarta di Radio Pensiunan

RADIOPENSIUNAN.COM Program Komunitas & Pensiunan untuk Edisi Senin 7 April 2025 Pukul 19.00 akan menampilkan YOGARTA Komunitas Yoga Yogyakarta. Yoga sebenarnya merupakan olahraga tubuh dan pikiran. Yoga menggabungkan latihan pernapasan, meditasi, serta pose dan gerakan yang dirancang untuk memberikan efek relaksasi dan mengurangi stres. Bagi Anda yang baru mencoba yoga, mungkin Anda akan sedikit bingung menentukan jenis yoga apa yang cocok untuk Anda. Apa saja yang diobati atau dikelola oleh terapi yoga ? Beberapa manfaat kesehatan dari terapi yoga yaitu mengurangi ketidaknyamanan fisik dan meningkatkan pengelolaan rasa sakit, membantu kondisi neurologis seperti multiple sclerosis (MS) , fibromyalgia , epilepsi , dan stroke . Simak perbincangan menariknya bersama Ketut Artana & Tri Sihono dari YOGARTA dipandu Host Adji di Program Komunitas & Pensiunan.   RADIO PENSIUNAN PABRIKNYA KEBAHAGIAAN Cara mendengarkan download aplikasi play store https://bit.ly/3Hl3LLA app store https://bit.ly/41WvoUM Klik website radiopensiunan.com radiopensiunan.top Jumlah Pendengar Update Maret 2025 GOOGLE ANALYTICS 299.299 WEBSITE 19.726 Play Store 10.000 + APP STORE 356 nilai kepuasan 4,8 / 5 bintang WA Grup 400 Twitter 3.569 IG 578 FB Fans Page 363 FB Grup 1.150 YouTube Channel 550

Warta Pensiunan

Mudik Versi Melayu dan Versi Jawa

RADIOPENSIUNAN.COM Mudik versi Melayu dan Versi Jawa Oleh : Agus Widyanto (Agus Awo) Setiap Lebaran yang berkaitan dengan Perayaan Hari Raya Idul Fitri, satu kegiatan yang melibatkan jutaan orang terjadi. Ya, terjadi mobilitas yang sangat tinggi dari pusat-pusat urbanisasi ke daerah sub-urban. Kegiatan massal yang sekarang kita kenal dengan istilah Mudik. Setidaknya, itulah yang terjadi di negeri kita tercinta, Indonesia; sejak beberapa dekade. Bagaimana asal-usul sebutan mudik, dan sejak kapan tradisi itu ada, mari kita kulik di Asal-Usul, yang penting jangan Usil. Mudik menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah: 1 (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman). 2 cak pulang ke kampung halaman Itu catatan KBBI tentang mudik. Menurut cerita, kata Mudik awalnya dipakai di wilayah berbahasa Melayu untuk menyebut peristiwa baliknya perahu dari hilir dan pelabuhan ke hulu sungai yang ada di wilayah pedalaman. Waktu itu, banyak orang pedalaman yang berdagang atau bekerja di wilayah pelabuhan dan perkotaan dalam kurun waktu tertentu. Momentum kembalinya orang ke pedalaman itulah yang disebut Mudik: Menuju Udik (Hulu). Namun dalam perkembangannyasejak Jakarta menjadi magnet ekonomi yang didatangi banyak orang sebagai tujuan mencari sumber kehidupan, istilah mudik mengalami pergeseran arti. Banyaknya orang dari wilayah lain di Pulau Jawa yang mengadu nasib di Jakarta, yang setiap momentum Idul Fitri biasanya pulang ke tempat asalnya, lahirnya istilah mudik dalam versi baru. Melihat banyaknya orang berbahasa Jawa di Jakarta, maka istilah mudik pun mengalami pergeseran bahasa. Dalam bahasa percakapan, kaum urban yang datang ke Jakarta, mengatakan “Mulih Dhisik” (pulang dulu) kepada para tetangga dan koleganya. Kata mulih dhisik inilah yang dalam ilmu jawa kerata basa atau jarwo dhosok, dipas-paskan menjadi akronim “Mudik” yang merupakan kependekan dari “Mulih dhisik”. Ada pula yang menyebut Mudik dalam versi Jawa sebagai “Mulih Dilik” (Pulang sebentar). Mana yang benar, biarlah para cerdik pandai yang menjawabnya. Perkembangan urbanisasi yang pesat, membuat istilah mudik tidak hanya dikenal di Jakarta dan sekitarnya, namun merambah ke kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan bahkan sampai di Makassar dan Bali. Istilah mudik bukan hanya untuk orang yang bekerja di Jakarta dan sekitarnya saat kembali ke kampung asalnya, tapi juga berlaku untuk orang yang merantau mencari sumber penghasilan di kota-kota besar lain di Indonesia. Lantas, sejak kapan tradisi Mudik dilakukan ? Wikipediawan sekaligus Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin, mengatakan, asal-usul kata ini sudah ada sekitar 1390. Kata “mudik” ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu. “Dari penelusuran di Malay Concordance Project, kata ‘mudik’ sudah dipakai pada naskah “Hikayat Raja Pasai” yang bertarikh sekitar 1390,” kata Ivan, kepada Kompas.com, dalam wawancara di Bulan Mei Tahun 2021. Dalam naskah Hikayat Raja Pasai, kata “mudik” dimaknai sebagai “pergi ke hulu sungai”. Dalam Bahasa Melayu, kata “udik” mempunyai arti hulu sungai, ada pun lawan katanya adalah “Ilir” atau hilir” pedalaman. Kawasan berbahasa Melayu, seperti Semenanjung Malaya, di era Majapahit berkuasa, konon juga ada tradisi mudik. Para petinggi dan punggawa Kerajaan Majapahit yang ditempatkan di semenanjung Malaya sampai Sri Lanka, pada momentum tertentu pulang ke ibukota Majapahit untuk bertemu keluarga dan menghadap raja. Meski banyak diwacanakan, catatan tentang hal ini belum diungkapkan sumbernya. Di era Kerajaan Mataram Islam, ada juga cerita tentang mudik. Sama seperti cerita era Majapahit, di era Mataram Islam juga belum diketahui sumber-sumber pendukungnya. Yang masih mudah dilacak adalah era mudik dari Jakarta di era tahun 70-an, saat Orde Baru gencar membangun ibukota negara dengan berbagai proyek fisik. Kebutuhan akan tenaga kerja untuk proyek, dan kebutuhan tenaga pendukung birokrasi besar menyedot kedatangan orang dari berbagai daerah ke Jakarta. Dampaknya, bukan tenaga kerja proyek dan birokrasi saja yang dibutuhkan; logistik dan angkutan umum pun menjadi kebutuhan yang vital. Perdagangan berkembang pesat, mulai makanan dan minuman serta kebutuhan sehari-hari, sampai tenaga untuk jasa transportasi umum pun berkembang. Ekonomi yang sentralistik membuat daya sedot tenaga kerja ke Jakarta makin besar. Kaum urban yang mendapatkan penghasilan lebih besar dibandingkan di daerah asal, saat pulang menjadi semacam public relation Jakarta kepada masyarakat d daerah. Terbangun kesan, hidup di Jakarta lebih enak daripada di kampung halaman. Budaya massa seperti film, musik dan media massa menjadi alat afirmasi yang ampuh. Yang membuat Jakarta makin diminati dan diimpikan. Kisah sukses orang daerah di Jakarta seperti mendapat pengesahan yang kuat. Dunia film menjadikan setting kota Jakarta sebagai daya tarik, bukan saja untuk film genre umum, film komedi yang dibintangi Benyamin, Kwartet Jaya Bing Slamet, Eddy Soed, Ateng dan iskak, bahkan film—film yang dibintangi S Bagio, memamerkan daya tarik Jakarta kepada penonton. Tak ketinggalan, film-film serial Oma Irama yang mengisahkan kelananya ke Ibukota meraih kesuksesan, makin membuat pesona Jakarta kian mengkilap. Dunia musik pun ikut mengafirmasi daya tarik Jakarta. Lagu “Kembali ke Jakarta” nya Koes Plus, mendorong pemuda di daerah berbondong- bondong ke ibukota. Juga lagu “Merantau” Titiek Sandhora liriknya menginspirasi kesyahduan bagaimana menjadi perantau. Media massa yang terpusat di Jakarta, utamanya majalah-majalah hiburan, mendorong para perantau mengadu nasib untuk menjadi bintang di ibukota. Mudik kini bukan sekedar kaum migran pulang kampung, orang Jakarta yang bekerja di luar Jakarta pun merasakan mudik, meski jumlahnya tidak sebanyak yang kembali ke luar Jakarta. Mudik pun kini mendapat perhatian pemerintah dan perusahaan besar dengan menyediakan mudik gratis. Barangkali perlu juga mudik murah untuk kelas menengah yang posisinya pas di tengah sehingga sulit beringsut. Mudik ibarat arus bolak-balik, karena ada arus balik yang mobilitasnya sama tingginya dengan yang mudik.

Warta Pensiunan

Hari Radio Nasional & Hari Penyiaran Nasional

Hari Radio Nasional & Hari Penyiaran Nasional Oleh : Eddy Koko SETAHUN lalu, tanggal 1 April 2024, saya diundang ke Studio Radio Bola Koaidi (www.radiobola.co.id) di Rawamangun, Jakarta Timur dalam rangka peresmian siaran radio tersebut. Yang mengundang pemilik  Radio Bola, teman satu angkatan waktu kuliah di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta tahun 80an, Erwiyantoro alias Toro alias Cocomeo nama Medsosnya. Mbah Coco, begitu ia dipanggil, memilih tanggal 1 April karena tanggal itu merupakan Hari Penyiaran, sesuai Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 9 Tahun 2019 tentang Hari Penyiaran Nasional. Menurut saya Mbah Coco jeli memilih tanggal 1 April untuk meluncurkan radionya bertepatan  tanggal resmi Hari Penyiaran Nasional. Banyak orang radio  lupa bahkan ada yang tidak tau ada Hari Penyiaran. Sebagai ukuran lupa dan tidak tau bisa simak saat tanggal 11 September banyak yang mengucapkan Selamat Hari Radio Nasional tetapi tidak pada 1 April Hari Penyiaran Nasional. Jadi Mbah Coco ikut mengingatkan bahwa ada Hari Penyiaran Nasional. Pada September, masih di tahun yang sama, saya diundang bicara tentang radio di sebuah kampus Jakarta yang memiliki jurusan penyiaran. Bunyi undangannya,  diskusi diselenggarakan dalam rangka Hari Radio Nasional tanggal 11 September. Sebagai pendiri Radio Pensiunan, saya diminta pandangan mengenai masa depan media radio di Indonesia. Konsep Radio Pensiunan dan Radio Bola Koaidi sama berbasis internet atau orang menyebutnya radio streaming dan ada juga menyebut sebagai radio online. Saya hadir memenuhi undangan dari kampus tetapi sempat bertanya pada pengundang, sejak kapan ada Hari Radio Nasional? Ketua penyelenggara diskusi sekaligus dosen di kampus tersebut terheran-heran mendengar pertanyaan saya sampai tidak tahu ada Hari Radio Nasional. Kemudian menjelaskan bahwa Hari Radio Nasional sudah lama ada. Saya sempat bertanya lagi, apakah ada Keputusan Presiden (Keppres) tentang Hari Radio Nasional? Sekali lagi pak ketua penyelenggara diskusi menjawab, ada. Mengapa bertanya Keppres Hari Radio Nasional, karena saya belum menemukan putusan tersebut. Mungkin saya kuno jadi gagap teknologi belum berhasil menemukan Keppres Hari Radio Nasional. Setiap saya ketik Hari Radio Nasional di mesin pencari Google yang muncul Keppres tentang Hari Penyiaran Nasional. Ketika ganti ketik dan cari Tanggal 11 September yang muncul Hari Lahir Radio Republik Indonesia (RRI). Tidak mendapat jawaban dari Mbah Google, tanggal September 2024 saya mohon bantuan teman yang bekerja di bagian hukum Sekretariat Negara RI. Apakah ada melihat arsip Keppres  yang menetapkan tanggal 11 September sebagai Hari Radio Nasional? Saya mendapat jawaban, tidak ada Keppres tentang hal itu. Apakah teman itu juga luput melihat lembar putusan mengenai Hari Radio Nasional? Bisa saja. Tapi seharusnya tidak. Saya tidak mempermasalahkan juga tidak ada keberatan hari lahir RRI kemudian menjadi Hari Radio Nasional. Saya hanya mencoba memastikan bahwa hari radio tanggal 11 September tersebut bersifat nasional. Sebab hari nasional, seperti hari buruh nasional, hari pendidikan nasional, hari batik nasional sampai libur nasional bahkan pahlawan nasional dan lainnya ditetapkan melalui Keppres. Karena menyandang kata Nasional  maka padanya berlaku juga secara nasional atau seluruh Indonesia dan resmi. Peringatan hari nasional sering menjadi momen penting untuk memperingati peristiwa bersejarah, kampanye kesadaran, hingga momentum sosial dan budaya yang dirayakan oleh masyarakat luas. Dalam artikel hukum dijelaskan, Keppres merupakan tindakan hukum pemerintah yang bersumber dari kewenangan diskresi dan dapat digunakan untuk menjalankan UUD, Tap MPR, dan PP. Keppres dapat digunakan untuk menetapkan hari libur nasional, termasuk hari libur keagamaan juga untuk menyesuaikan perkembangan dinamika masyarakat dan hukum. Dasar hukum Keppres adalah Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.   Penyiaran Adalah Radio Sebagai orang yang berkecimpung di dunia radio menyambut baik adanya hari nasional terkait. Hal itu menandakan radio mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Seperti juga UNESCO (United Nations Educational, Scientific & Cultural Organization) yang menetapkan tanggal 13 Februari sebagai Hari Radio se-Dunia. Namun ketika ada dua hari radio atau penyiaran maka saya perlu mencari tahu untuk ikut memperingati secara resmi. Jika saya memilih menggunakan tanggal 1 April untuk memperingati hari radio bukan berarti ada masalah dengan RRI sebagai “pemilik” tanggal 11 September. Saya kecil dan remaja tahun 70an adalah anak yang tinggal di pelosok dan setia mendengarkan siaran RRI. Pada usia kelas tiga SD saya sudah selalu menunggu acara Sandiwara Radio RRI dengan sutradara Jon Simamora. Nama sutradara itu melekat dalam ingatan saya termasuk penyiar Minggu Pagi Studio RRI Palembang, Herman Sawiran. Sandiwara Studio Yogyakarta pun saya ikuti walau kadang tertidur karena tergolong larut pukul 22.00. Hari sekolah saya berangkat setelah sepuluh menit mendengarkan Warta Berita RRI pukul 07.00. Tidak tuntas mendengarkan warta berita karena harus bergegas lari ke sekolah jangan sampai lewat pukul 07.30. Rutin saya mendengarkan warta berita RRI sampai hapal nama-nama menteri era itu. Paling saya ingat, karena terkait pendidikan adalah Menteri Pendidikan Mashuri. Ketika masuk SMP, begitu bel tanda sekolah usai, saya langsung lari pulang untuk mendengarkan siaran program Musik Pelepas Lelah (MPL) RRI dengan penyiar Sazli Rais dan Hasan Asy’ari Oramahi. Tapi saya paling tidak suka acara Varia Nusantara. Sejarah mencatat, tanggal 11 September sebagai Hari Lahirnya RRI dimulai dari peristiwa adanya delegasi bekas stasiun radio Hoso Kyoku (Jawatan Radio) datang ke Jakarta. Mereka mengusulkan kepada pemerintah Indonesia mendirikan radio sebagai alat komunikasi antara pemerintah dan rakyat. Disepakati dan Abdulrahman Saleh dipercaya memimpin RRI. Maka berdirilah RRI tanggal 11 September 1945 dengan tujuan, antara lain, melakukan koordinasi guna melawan penjajah sekaligus mempersatukan bangsa dan penyebaran informasi secara cepat. Sedangkan tanggal 1 April sebagai Hari Penyiaran Nasional berangkat dari 1 April 1933 ketika KGPAA Mangkunegoro VII, merupakan orang pribumi pertama yang mempunyai stasiun radio di Kota Solo, yaitu Solosche Radio Vereeniging (SRV). Konon, proses penetapan Hari Penyiaran Nasional berlangsung cukup alot, diawali deklarasi pertama tanggal 1 April 2010 di Surakarta, Jawa Tengah. Banyak tokoh ikut mendukung deklarasi awal tersebut, seperti Gesang dan Waljinah termasuk para akademisi dan budayawan. Saat itu Joko Widodo masih menjabat Walikota Solo kemudian 2019 ketika menjadi Presiden RI menandatangani Keppres tentang Hari Penyiaran Nasional tanggal 1 April. Ada yang mengartikan penyiaran adalah televisi. Namun jika mencermati sejarah tanggal 1 April maka yang dimaksud kata Penyiaran pada Hari Penyiaran Nasional adalah radio. Yaitu berawal dari stasiun radio pribumi di Solo milik Mangkunegoro VII, Solosche Radio Vereeniging. Sepertinya agak janggal jika ada dua hari nasional

RADIO EKSPOSE - RE SAPA PENSIUNAN
Scroll to Top