RADIOPENSIUNAN.COM
Program Acara Pensiunan Punya Cerita
Edisi Selasa , 24 September 2024 Pukul 10.00-12.00 ( Siar Ulang Kamis 26 September 2024 Pukul 21.30 )
MENANG SECARA TERHORMAT : MENANG TANPO NGASORAKE
Host : Puspa
Narasumber : Agus Widyanto (Agus Awo)
Dalam kompetisi, pertandingan, meraih kesempatan karir, bahkan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidup, semua orang, sekali lagi “Semua Orang” ingin menjadi PEMENANG. Predikat pemenang adalah status sebagai “Yang Ter”, yang paling, menjadi dambaan setiap orang.
Orang barat sampai punya jargon “The Winner Takes It All”: Pemenang mengambil semuanya. Mereka yang kalah harus menerima sisa-sisa saja.
Namun di Bumi Nusantara tumbuh ajaran tentang “Menjadi Pemenang” dan “Tentang Kemenangan” yang punya nilai falsafi mendalam. Ajaran bijaksana yang jika diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat membuat kompetisi, persaingan, pertandingan, bahkan peperangan sekalipun mampu meminimalkan dampak kekalahan. Mengurangi luka, rasa kecewa, sedih, dan bahkan dendam akibat kekalahan. Dan berbagai rasa dan akibat dari kegagalan meraih menjadi “Yang ter”, “Yang Paling” yang pastinya menyakitkan.
Ajaran bijak yang dimaksud adalah “Menang Tanpo Ngasorake” (Menang Tanpa Merendahkan). Piwulang sekaligus Piweling tersebut lengkapnya berbunyi “Sugih tanpo bondho, digdoyo tanpo aji, Ngluruk tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”. Apa maksudnya?
Mari kita urai satu persatu.
Yang pertama adalah tentang menjadi kaya, sugih, bahasa kininya tajir. Menjadi kaya merupakan hak semua orang, tapi ukuran kekayaan ternyata bukan hanya harta. Ada kepemilikan lain seperti persaudaraan, pengetahuan, kehormatan, kekuasaan atau pengaruh. Leluhur Jawa mengajarkan falsafah “Sugih tanpo bondho” yang bermakna dengan harta yang sewajarnya kita masih bisa menikmati arti kekayaan. Pesan ini menegaskan bahwa harta bukan satu-satunya ukuran kekayaan. Dengan begitu kalau ada yang hartanya meluber sampai ke dekat pagar rumah kita, tidak perlu menjadikan kita minder, inferior atau merasa rendah. Secara materi tetangga kita punya lebih, tapi dari hal lain kita punya kelebihan, kekayaan dalam bentuk yang lain.
Yang kedua adalah tentang keperkasaan, kedigdayaan, yang bisa diperoleh tanpa memakai bantuan “Kekuatan lain” yang sering disebut sebagai kesaktian. Apalagi memakai sumber kekuatan dari “dunia gelap”. Jangan. Keperkasaan, kedigdayaan, harus diperoleh dengan berlatih, membiasakan diri, melakukan olah pikir sehingga menghasilkan pikiran-pikiran yang jernih; dan menata hati dengan baik sehingga bisa tampil elegan. Dengan hati dan pikiran baik, secara tidak langsung membentuk perilaku yang baik. Dari sana orang akan menghargai dan segan dengan kita walau kita tak punya kelebihan(aji).
Yang ketiga tentang Ngluruk tanpo bolo. Ini punya dua arti. Arti yang nomer satu yakni melawan tanpa bantuan kawan, tanpa menggalang orang banyak untuk menggolkan maksud kita. Ini memperlihatkan bahwa kitaadalah orang yang berani, punya mental kasatria, dan punya kepercayaan diri yang maksimum. Arti yang nomor dua dari “Ngluuruk Tanpo Bolo” adalah pengingat agar sebelum mengalahkan orang lain kita harus bisa mengalahkan diri sendiri. Karena memang untuk melawan diri sendiri tidak dibutuhkan siapa-siapa. Hanya kitalah yang bisa melawan diri kita sendiri.
Yang keempat, dan menjadi tema bahasan kita kali ini adalah “Menang tanpo ngasorake”. Kemenangan yang menjadi dambaan semua orang, harus diraih dengan cara yang terhormat, diperoleh tanpa melanggar aturan yang ada, dan yang penting DIRAIH TANPA HARUS MERENDAHKAN SIAPAPUN. Dengan pribadi baik yang kita punya, orang yang berhadapan dengan kita sudah merasa rendah diri tanpa kita rendahkan.
Ungkapan “Menang Tanpo Ngasorake” ini dahulu sering dibicarakan oleh Pak Harto sewaktu beliau menjadi Presiden Republik Indonesia. Konsep ajaran yang sering digunakan di dalam terminologi orang Jawa tentang bagaimana memenangkan sebuah pertempuran tanpa melalui pertarungan yang berdarah-darah. Menang tidak selalu berkonotasi melalui pertempuran, akan tetapi bisa juga menang melalui proses diplomasi atau perdebatan dan sebagainya.
Perlu diingat, “Menang tanpo ngasorake” terjadi bukan hanya di dalam dunia diplomasi, pertempuran dan pertandingan, tetapi juga di dalam dunia kompetisi ekonomi. Menang tanpa mengalahkan akan terjadi ketika seseorang bisa memenangkan kompetisi di suatu usaha tetapi bukan dengan cara saling berusaha untuk berkompetisi dalam suatu produk, akan tetapi melalui mencari dan menemukan potensi ekonomi baru yang ternyata juga potensial untuk dikembangkan.
Ada buku yang menarik yang relevan dengan pemahaman “Menang Tanpo Ngasorake”. Buku Blue Ocean Strategy, Ciptakan Ruang Pasar Tanpa Pesaing dan Biarkan Kompetisi Tak lagi Relevan oleh W. Chan Kim dan Rene Mauborgne, secara tegas menyatakan stop kompetisi atau Jangan Ladeni Para Pesaing. Yang dimaksudkan adalah berhenti melakukan kompetisi ekonomi dalam suatu produk yang sama. Akan tetapi melakukan diversifikasi produk sehingga bukan kompetisi yang terjadi akan tetapi saling menemukan brandingnya masing-masing.
Guru besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Prof Rhenald Kasali secara konkret memberikan contoh kasus tentang bagaimana memenangkan kompetisi dengan cara menemukan keunikan. Selama ini, tarian balet selalu dimainkan oleh orang yang sempurna dari sisi fisik dan psikhis. Tidak ada kecacatan fisik yang dialami oleh seluruh penari balet. Akan tetapi melalui kreativitas yang luar biasa, maka bisa terjadi tarian balet justru dimainkan oleh orang yang justru cacat kaki. Yang lelaki cacat kaki kanan dan yang perempuan cacat kaki kiri, misalnya. Justru dengan kecacatan itulah yang potensial. Melalui proses latihan yang sangat serius, maka dua orang yang cacat ini kemudian bisa menjadi penari balet profesional dan memperoleh penghargaan serta animo penonton yang luar biasa.
Banyak orang yang selama ini sering mencemooh dalam tanda kutip terhadap pitutur Jawa ini. Bagaimana orang bisa menang tanpa mengalahkan. Kemenangan pastilah berasal dari proses memenangkan pertarungan. Tidak ada kemenangan yang dilakukan dengan diam. Semua kemenangan diperoleh dengan berdarah-darah. Inilah semula pandangan saya tentang sebuah kemenangan. Setelah direnungkan, cemoohan tersebut ternyata keliru. Memenangkan pertarungan ternyata tidak harus dengan melakukan tindakan berdarah-darah. Memenangkan pertarungan tidak harus melalui kompetisi yang sangat kuat. Ada cara yang elegan, terhormat, dan dampak buruknya minimal seperti yang dicontohkan di atas.
Dari penggalian ajaran tentang menang dan kalah dalam persaingan, kompetisi, pertandingan, dan pertempuran; belakangan lahir pitutur lanjutan terhadap siapa saja yang beruntung sebagai pemenang agar tetap rendah hati, dan merayakannya dengan cara yang sewajarnya saja. Pitutur tersebut adalah “Menang ora umuk, kalah ora ngamuk”. Kalau menang tak perlu sesumbar, sombong, pamer; kalau kalah harus bisa menerima kekalahan, tidak menunjukkan kekesalan dan kekecewaannya dengan melakukan hal-hal yang merusak, destruktif.
Karena sejatinya menang dan kalah adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan. Dunia olahraga mengajarkan sportivitas sebagai miniature kompetisi kehidupan. Sportivitas adalah salah satu nilai yang menunjukkan integritas dan keserasian dalam sebuah olahraga. Juga Kehidupan. (*)