RADIOPENSIUNAN.COM
HARI ini tanggal 13 Februari diperingati oleh UNESCO sebagai Hari Radio Sedunia sejak 2011.
Tapi saya tak hendak menulis tema hari radio dunia 2025 tentang Radio & Perubahan Iklim. Saya lebih tertarik menulis tentang penyiar radio yang menangis, viral, karena imbas efisiensi anggaran dari pemerintah.
Sebelum sampai pada penyiar menangis saya mendapat sebaran pengumuman begini:
Terhitung hari senin tanggal 10 Feb 2025 pemancar PRO 4 RRI Tanjungpinang (juga ada
Ternate, Semarang, dsb) akan dinonaktifkan, sehingga sobat RRI pendengar PRO 4 tidak
dapat mendengarkan siaran PRO 4 melalui terestrial di FM 101,3 MHz.
Pendengar PRO 4 hanya bisa mendengarkan siaran melalui streaming di aplikasi RRI
Digital.
Untuk siaran PRO 1 yang semula berkekuatan 5 Kilowatt akan diturunkan menjadi 2,5
kilowatt.
Terima kasih.
Membaca pengumuman yang, tampaknya, viral itu saya bertanya-tanya, ada masalah apa
dengan siaran radio streaming? Saya tidak fokus pada penurunan kekuatan daya pancar 5
Kw menjadi 2,5 Kw atau kalimat pengumuman yg lain. Ada kata HANYA bisa didengarkan
melalui streaming. Ini seperti pengumuman, mulai besok tidak bisa makan daging ayam tapi
HANYA bisa makan Tahu.
Apakah tahu tidak lebih baik dari ayam? Apakah Radio Streaming tidak lebih baik dari
terestrial?
Seharusnya pengumuman itu berbunyi:
Sobat RRI menyesuaikan dengan perkembangan zaman maka sejak sekarang kami FOKUS
atau mengutamakan siaran menggunakan konsep STREAMING.
Selanjutnya, daya jangkau siaran terestrial lambat laun diminimalkan.
Kalau pakai bahasa dimatikan mungkin terlalu ekstrim tapi mau sampai kapan duit habis
puluhan mungkin ratusan juta rupiah buat bayar listrik pemancar setiap bulannya?
Era sudah berubah. Konsep siaran berbasis internet atau streaming adalah keniscayaan
bukan kenistaan. Bahkan untuk Indonesia yang luas dengan banyak pulau ini konsep siaran
radio streaming sangat cocok. Sebab dengan siaran di satu tempat, misal di Tanjungpinang,
pesan penyiar yang disampaikan dapat menjangkau seluruh dunia. Selama ada jaringan
internet siaran radio tersebut dapat diterima.
Bahwa ada yang berpendapat, belum semua wilayah di Indonesia ada internet. Pertanyaan
balik apakah semua wilayah juga dapat menangkap/mendengarkan siaran terestrial? Tidak
juga. Tapi kalau berpikirnya masih “terestrial” atau “kolonial” ya akan terus ketinggalan.
Radio Streaming
Perkembangan atau teknologi siaran radio streaming terus maju dan berkembang bukan
hanya di luar negeri tetapi juga Indonesia. Mereka yang ingin siaran radio tetapi tidak
mendapatkan kesempatan mengelola kanal frekuensi yang infrastrukturnya mahal dan
ngurusnya ribet, sekarang bisa bikin radio sendiri memanfaatkan internet. Mereka bisa
siaran dari mana saja, dari pelosok desa sampai pusat kota dan siarannya menjangkau
dunia.
Keuntungan radio streaming adalah dapat diterima dimana saja selama ada internet. Cukup
menggunakan pesawat handphone atau laptop siaran radio bisa didengarkan dengan
kualitas suara jernih. Sudah beredar di pasaran pesawat radio internet jika enggan dengar di
HP. Bandingkan dengan seberapa banyak orang sekarang masih menenteng radio
transistor atau radio konvensional dibanding yang menggunakan HP? Jika ingin menjangkau
pendengar lebih banyak maka radio streaming adalah salah satu pilihan tepat saat ini.
Meminjam survei Google tahun 2023, Think Tech, Rise of Foldables: The Next Big Thing in
Smartphone orang Indonesia yang menggunakan HP mencapai 128% dari total penduduk
(versi BPS) adalah 278,69 juta jiwa. Dari data tersebut berarti, ada (banyak) orang yang
memiliki lebih dari satu pesawat HP. Jumlah itu pastinya lebih meningkat lagi tahun 2025.
Artinya ada lebih banyak orang berpeluang mendengarkan siaran radio streaming dibanding
mendengarkan lewat pesawat radio konvensional. Jadi, sekali lagi, mendengarkan radio
streaming bukan hal memalukan karena dunia memang sedang atau bahkan sudah
berubah.
Mengapa banyak orang malas berubah sementara zaman berubah? Ada kenyamanan di
alam lama sana meskipun boros dan tidak praktis. Boros listrik, boros kertas, boros macam-
macam.

Penyiar Menangis Sedu
Belum selesai terbengong-bengong karena membaca pengumuman pemancar
dinonaktifkan muncul tayangan video penyiar sedang menangis tersedu sedan. Judul
videonya begini: Curahan Hati Penyiar RRI untuk Presiden Prabowo Usai Terkena PHK
Dampak Efisiensi.
Isi pesannya sambil mengurai, menyeka air mata dalam suara parau begini:
Bapak, kita tau bahwa efisiensi anggaran yang bapak lakukan saat ini yaitu untuk
menunjang agar program-program bapak presiden berjalan dengan baik. Seperti makan
gratis untuk anak-anak. Tetapi sudahkah bapak berpikir bahwa ketika pagi hari bapak
berhasil memberikan makan gratis dan bergizi untuk anak-anak ketika mereka pulang ke
rumah mereka mendapati orang tua mereka tidak bisa memberikan makan siang dan
malam yang layak? Karena ternyata orang tua mereka harus di-PHK atau dirumahkan
karena efisiensi yang telah bapak lakukan. Lalu menurut bapak dimana yang bapak bilang
sangat mencintai rakyat bapak?
Setelah mendengar pesan video tersebut sontak sejumlah teman praktisi radio siaran
swasta berkomunikasi dan tersenyum seraya menyebut pesan itu cengeng. Mengapa
begitu? Sebab pengelola radio siaran swasta itu sudah bertahun-tahun “menangis” imbas kondisi ekonomi yang tidak baik. Iklan menurun. Bayar listrik terus naik. Tetapi mereka tetap
berusaha siaran dan tidak mengumumkan penderitaannya (menangisnya). Bandingkan
dengan RRI yang tidak harus cari iklan. Ada iklan atau tidak ada iklan mereka tetap gajian
karena RRI merupakan perusahaan negara dengan anggaran dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara (APBN).
Ketika bencana Corona melanda dunia dan Indonesia pemutusan hubungan kerja (PHK) di
radio siaran swasta terjadi besar-besaran. Mereka yang di-PHK tidak membuat postingan
menangis. Pengumuman menurunkan power pemancar juga tidak ada. Meskipun harus
mem-PHK karyawan atau penyiar, harus menurunkan power pemancar tetapi radio siaran
swasta tetap mengudara. Yang tidak kuat lagi diam saja, tidur tanpa pengumuman. Tidak
ada pengumuman, maaf kami semaput!
Radio swasta ternyata lebih tegar dibanding dengan RRI. Radio siaran swasta pandai
melakukan strategi ketika kondisi ekonomi semacam efisiensi anggaran ini terjadi. Juga
tidak serta-merta melakukan PHK tetapi berbulan dahulu mencoba strategi pengetatan dan
ketika dirasa tetap berat maka PHK jalan terakhir. Pimpinan dan bawahan merapatkan
barisan, saling terbuka, sepakat sementara sama-sama prihatin, tidak ada bonus, coret
anggaran yang tidak mendesak. Penyiar siaran gantian, karyawan kerja dari rumah agar
tidak ada yang disedihkan.
Yang terjadi di RRI ini sangat drastis, baru beberapa hari ada pengetatan, efisiensi
anggaran atau anggaran dikurangi dalam hitungan hari muncul kebijakan PHK atau
merumahkan karyawan. Fatalnya kebijakan PHK kemudian dibatalkan dalam hitungan dua
atau tiga hari kemudian. Bayangkan, kalau penyiar RRI yang menangis karena di-PHK itu
tidak kuat jiwanya kemudian bunuh diri? Ketika kemudian ter-PHK dipanggil kerja kembali
oleh pimpinannya sementara yang bersangkutan sudah dipanggil Tuhan, gimana?
Seorang teman senior di radio swasta, dalam obrolan kemarin, nyeletuk, kalau begitu
ceritanya, bagaimana dengan semboyan Sekali di Udara Tetap di Udara? Hanya urusan
efisiensi bukan penghapusan anggaran sudah turun dari udara? Tampaknya, memang,
pimpinan RRI juga perlu baca sejarah perjuangan pendiri radio milik bangsa Indonesia ini.
Manusia radio Indonesia bersatulah, rapatkan barisan, terus mengudara untuk menghibur
masyarakat dan memberi pengetahuan, informasi berguna untuk mencerdaskan bangsa.
Dalam situasi informasi bohong berseliweran mempengaruhi masyarakat maka peran radio
siaran masih dibutuhkan.
Penyiar sejati tetap ceria di depan microphone studio siaran meskipun di rumah beras habis.
Sekali di Udara Tetap Tertawa!***(Eddy Koko /Penikmat Siaran Radio)