RADIOPENSIUNAN.COM
Mudik versi Melayu dan Versi Jawa
Oleh : Agus Widyanto (Agus Awo)
Setiap Lebaran yang berkaitan dengan Perayaan Hari Raya Idul Fitri, satu kegiatan yang melibatkan jutaan orang terjadi. Ya, terjadi mobilitas yang sangat tinggi dari pusat-pusat urbanisasi ke daerah sub-urban. Kegiatan massal yang sekarang kita kenal dengan istilah Mudik.
Setidaknya, itulah yang terjadi di negeri kita tercinta, Indonesia; sejak beberapa dekade. Bagaimana asal-usul sebutan mudik, dan sejak kapan tradisi itu ada, mari kita kulik di Asal-Usul, yang penting jangan Usil.
Mudik menurut Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah:
1 (berlayar, pergi) ke udik (hulu sungai, pedalaman).
2 cak pulang ke kampung halaman
Itu catatan KBBI tentang mudik. Menurut cerita, kata Mudik awalnya dipakai di wilayah berbahasa Melayu untuk menyebut peristiwa baliknya perahu dari hilir dan pelabuhan ke hulu sungai yang ada di wilayah pedalaman. Waktu itu, banyak orang pedalaman yang berdagang atau bekerja di wilayah pelabuhan dan perkotaan dalam kurun waktu tertentu. Momentum kembalinya orang ke pedalaman itulah yang disebut Mudik: Menuju Udik (Hulu).
Namun dalam perkembangannyasejak Jakarta menjadi magnet ekonomi yang didatangi banyak orang sebagai tujuan mencari sumber kehidupan, istilah mudik mengalami pergeseran arti. Banyaknya orang dari wilayah lain di Pulau Jawa yang mengadu nasib di Jakarta, yang setiap momentum Idul Fitri biasanya pulang ke tempat asalnya, lahirnya istilah mudik dalam versi baru.
Melihat banyaknya orang berbahasa Jawa di Jakarta, maka istilah mudik pun mengalami pergeseran bahasa. Dalam bahasa percakapan, kaum urban yang datang ke Jakarta, mengatakan “Mulih Dhisik” (pulang dulu) kepada para tetangga dan koleganya. Kata mulih dhisik inilah yang dalam ilmu jawa kerata basa atau jarwo dhosok, dipas-paskan menjadi akronim “Mudik” yang merupakan kependekan dari “Mulih dhisik”. Ada pula yang menyebut Mudik dalam versi Jawa sebagai “Mulih Dilik” (Pulang sebentar). Mana yang benar, biarlah para cerdik pandai yang menjawabnya.
Perkembangan urbanisasi yang pesat, membuat istilah mudik tidak hanya dikenal di Jakarta dan sekitarnya, namun merambah ke kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan bahkan sampai di Makassar dan Bali. Istilah mudik bukan hanya untuk orang yang bekerja di Jakarta dan sekitarnya saat kembali ke kampung asalnya, tapi juga berlaku untuk orang yang merantau mencari sumber penghasilan di kota-kota besar lain di Indonesia.
Lantas, sejak kapan tradisi Mudik dilakukan ?
Wikipediawan sekaligus Direktur Utama Narabahasa, Ivan Lanin, mengatakan, asal-usul kata ini sudah ada sekitar 1390. Kata “mudik” ditemukan dalam naskah kuno berbahasa Melayu. “Dari penelusuran di Malay Concordance Project, kata ‘mudik’ sudah dipakai pada naskah “Hikayat Raja Pasai” yang bertarikh sekitar 1390,” kata Ivan, kepada Kompas.com, dalam wawancara di Bulan Mei Tahun 2021.
Dalam naskah Hikayat Raja Pasai, kata “mudik” dimaknai sebagai “pergi ke hulu sungai”. Dalam Bahasa Melayu, kata “udik” mempunyai arti hulu sungai, ada pun lawan katanya adalah “Ilir” atau hilir” pedalaman.
Kawasan berbahasa Melayu, seperti Semenanjung Malaya, di era Majapahit berkuasa, konon juga ada tradisi mudik. Para petinggi dan punggawa Kerajaan Majapahit yang ditempatkan di semenanjung Malaya sampai Sri Lanka, pada momentum tertentu pulang ke ibukota Majapahit untuk bertemu keluarga dan menghadap raja. Meski banyak diwacanakan, catatan tentang hal ini belum diungkapkan sumbernya.
Di era Kerajaan Mataram Islam, ada juga cerita tentang mudik. Sama seperti cerita era Majapahit, di era Mataram Islam juga belum diketahui sumber-sumber pendukungnya.
Yang masih mudah dilacak adalah era mudik dari Jakarta di era tahun 70-an, saat Orde Baru gencar membangun ibukota negara dengan berbagai proyek fisik. Kebutuhan akan tenaga kerja untuk proyek, dan kebutuhan tenaga pendukung birokrasi besar menyedot kedatangan orang dari berbagai daerah ke Jakarta. Dampaknya, bukan tenaga kerja proyek dan birokrasi saja yang dibutuhkan; logistik dan angkutan umum pun menjadi kebutuhan yang vital. Perdagangan berkembang pesat, mulai makanan dan minuman serta kebutuhan sehari-hari, sampai tenaga untuk jasa transportasi umum pun berkembang.
Ekonomi yang sentralistik membuat daya sedot tenaga kerja ke Jakarta makin besar. Kaum urban yang mendapatkan penghasilan lebih besar dibandingkan di daerah asal, saat pulang menjadi semacam public relation Jakarta kepada masyarakat d daerah. Terbangun kesan, hidup di Jakarta lebih enak daripada di kampung halaman.
Budaya massa seperti film, musik dan media massa menjadi alat afirmasi yang ampuh. Yang membuat Jakarta makin diminati dan diimpikan. Kisah sukses orang daerah di Jakarta seperti mendapat pengesahan yang kuat. Dunia film menjadikan setting kota Jakarta sebagai daya tarik, bukan saja untuk film genre umum, film komedi yang dibintangi Benyamin, Kwartet Jaya Bing Slamet, Eddy Soed, Ateng dan iskak, bahkan film—film yang dibintangi S Bagio, memamerkan daya tarik Jakarta kepada penonton. Tak ketinggalan, film-film serial Oma Irama yang mengisahkan kelananya ke Ibukota meraih kesuksesan, makin membuat pesona Jakarta kian mengkilap.
Dunia musik pun ikut mengafirmasi daya tarik Jakarta. Lagu “Kembali ke Jakarta” nya Koes Plus, mendorong pemuda di daerah berbondong- bondong ke ibukota. Juga lagu “Merantau” Titiek Sandhora liriknya menginspirasi kesyahduan bagaimana menjadi perantau. Media massa yang terpusat di Jakarta, utamanya majalah-majalah hiburan, mendorong para perantau mengadu nasib untuk menjadi bintang di ibukota.
Mudik kini bukan sekedar kaum migran pulang kampung, orang Jakarta yang bekerja di luar Jakarta pun merasakan mudik, meski jumlahnya tidak sebanyak yang kembali ke luar Jakarta. Mudik pun kini mendapat perhatian pemerintah dan perusahaan besar dengan menyediakan mudik gratis. Barangkali perlu juga mudik murah untuk kelas menengah yang posisinya pas di tengah sehingga sulit beringsut. Mudik ibarat arus bolak-balik, karena ada arus balik yang mobilitasnya sama tingginya dengan yang mudik.