RADIOPENSIUNAN.COM
Acara : Pensiunan Punya Cerita
Host : Puspa & Agus Awo
Sakralitas Hubungan Orang Jawa dan Air
Banyaknya cerita rakyat yang hidup di Budaya Jawa yang berkaitan dengan air, adalah pengakuan masyarakat Jawa bahwa keberadaan air merupakan hal yang mutlak dan tidak dapat dipisahkan. Tradisi agraris yang menjadi akar kebudayaan masyarakat Jawa menjadikan masalah air sebagai hal yang melekat dalam kehidupan.
Menjadi wajar kalau di kalangan masyarakat Jawa lahir cerita rakyat, legenda dan bahkan mitos tentang air yang sangat popular. Cerita-cerita rakyat yang tumbuh di sekitar Bengawan Solo misalnya dongeng Jaka Tingkir, Kapal Kyai Rajamala, asal-usul Kedung Bacin, kisah Dlepih Kayangan, Kedung Pungal, Pemandian Langenharja, dan Kedung Pengantin.
Di Jawa Timur ada kisah Banyuwangi, kisah Baru Klinting dan asal mula Telaga Ngebel (mirip dengan Baru Klinting dan Rawapening); kemudian cerita asal-usul Banyumas, Banyubiru, Rawapening, Umbul Tirto; kemudian di Jawa Barat ada Dongeng Situ Bagendit dan kisah terbentuknya danau di Garut melalui Legenda Telaga Warna.
Yang paling fenomenal adalah kisah dalam pewayangan Jawa, yakni Lakon Dewa Ruci. Lakon ini mengisahkan Werkudara atau Bima mendapat perintah dari sang guru, Begawan Durna, yang memmerintahkannya mencari “air kehidupan” guna menggapai kesempurnaan hidup. Air yang disebut “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu harus dicarinya sampai dapat. Tanpa ragu, Bima pun nyemplung ke nyemplung di samudra yang ganas, menghadapi ombak yang ganas dan hempasan angin yang kencang di samudera yang maha luas.
Bima sudah membulatkan tekad mencari “Air Kehidupan” dan pasrah menghadapi apapun yang akan terjadi. Dalam perjalanan yang jauh, saat kondisi tubuhnya sudah lemah, Bima dihadang seekor naga raksaksa bernama Kyai Nabat Nawa. Tanpa banyak kata sang naga raksaksa menyerang anak Pandawa yang terkuat, menggigit betisnya, dan melilit tubuhnya untuk dimangsa. Namun Bima berhasil mengalahkan sang naga raksaksa dengan menikamkan kuku pancanaka andalannya ke tubuh hewan melata itu.
Setelah sang naga dikalahkan, Bima bertemu dengan seorang dewa kerdil bernama Dewa Ruci yang wajahnya menyerupai Bima sendiri. Yang aneh, ukuran badan Dewa Ruci tidak lebih besar dari telapak tangannya. Ketika Dewa Ruci memerintahkan Bima untuk memasuki telinga kirinya, dia sempat ragu. Namun ada keajaiban, Bima berhasil masuk ke telinga dewa kerdil itu, dan di dalamnya Bima mendapati dunia yang mahaluas.
Pada fase ini Dewa Ruci membuka rahasia pemahaman inti kepada Werkudara bahwa air kehidupan tidak ada di mana-mana, sebab air kehidupan berada di dalam diri manusia itu sendiri. Bima pun menjadi mahfum wejangan Dewa Ruci yang intisarinya menyatakan bahwa air suci adalah representasi dirinya sendiri. Lantas terlihat empat macam cahaya, yaitu hitam, merah, kuning, dan putih.
Dewa Ruci mengungkapkan sejatinya manusia memiliki 5 cahaya, Dimana yang utama ada di dalam hati. Adapun empat warna yangterlihat, merah, hitam, kuning, dan putih, adalah penghalang hati. Hitam melambangkan kemarahan, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Kuning adalah perlambang hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa prasangka, unggul dalam kedamaian.
Inti cerita tersebut adalah adanya penghalang penghalang pikiran dan kehendak yang abadi yang dihadapi manusia dalam kehidupan nyata. Akhirnya Bima pun terlempar dari dalam telinga Dewa Ruci setelah mengetahui bahwa air suci atau air kehidupan itu ada di dalam sanubarinya.
Air yang mengisi 70% dari keseluruhan tubuh manusia, bukan saja dimaknai sebagai kebutuhan fisik, namun kebutuhan Rohani juga. Kisah Dewa Ruci memperlihatkan hal itu. Karenannya, saat kebudayaan sungai masih menjadi andalan, kesadaran menjaga air menjadi hal yang utama dalam kehidupan.
Dalam kosmologi budaya Jawa patirtan atau sumber air punya arti penting. Patirtan bisa berupa sumur, belik, kali, danau dan laut. Sumber air dan air itu mempunyai makna sebagai sumber kehidupan. Selain dimanfaatkan untuk kebutuhan sehari-hari, oleh para leluhur air digunakan untuk ritual siraman. Selain itu juga untuk tirta perwitasari dalam jamasan pusaka atau tosan aji. Mengingat berharga dan pentingnya sumber-sumber air, para leluhur merawatnya dengan cara meruwat dengan ritual nyadran kali, nyadran di Sungai.
Selain dimanfaatkan untuk kebutuhan kehidupan seperti minum, mandi,memasak, mencuci juga untuk irigasi dan kebutuhan lainnya, oleh para leluhur air juga digunakan untuk ritual siraman pada acara pengantin adat Jawa. Selain itu juga untuk tirta perwitasari dalam acara jamasan pusaka atau tosan aji.
Air sendiri sebagai sumber kehidupan mempunyai makna filosofi yang dan nilai kearifan lokal yang bisa tetap diugemi dalam kita menapaki kehidupan di dunia. Filosofi air yang bisa dipedomani bagi kehidupan manusia. B bagi Masyarakat Jawa air selalu mendapatkan posisi yang sangat tinggi, sehingga pelu bagi kita untuk kembali bercermin kepada Air. Manusia butuh air bukan hanya untuk minum, tapi untuk membersihka badan, dan material yang dianggap penting.
Sifat air yang sejatinya bersih dan jernih melambangkan kebeningan hati dan kejujuran yang berkeadilan. Adapun sifat air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah seperti gaya seseorang dalam sebuah kepemimpinan untuk selalu bertanggung jawab terhadap bawahannya.
Air mengajarkan kita tentang etika sopan santun seperti hidup yang terus mengalir. Falsafah Jawa juga memakai air dalam menjalani hidup. “Nglakoni urip ngeli wae ning ora keli” (Dalam menjalani hidup itu seperti kita mengikuti arius air tapi jangan sampai hanyut).
Apakah “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu ? Tidak akan dapat diperoleh wujud air itu dimanapun, termasuk ditempat ini? “Tirta Pawitra Mahening Suci” itu hanyalah sebuah perlambang yang harus dimengerti maksudnya. Tirta, air, kehidupan adalah pengingat bahwa dimana ada air disitu ditemui kehidupan. Sedangkan Pawitra memiliki makna bening, tidak hanya dilihat dari wujud air yang bening namun juga harus dilihat dari kegunaannya menghidupi semua makhluk, manusia, hewan dan tumbuhan. Sedangkan kata Mahening berasaldari kata Maha dan ening yang mewujudkan arti ketentraman lahir dan batin. Sedangkan suci tidak bermakna tidak berdosa, tapi terhindar dari dosa. (*)